PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Prinsip – Prinsip Pengembangan Kurikulum
Kurikulum
merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang
disediakan bagi siswa di sekolah. Dalam kurikulum terintegrasi filsafat,
nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan. Kurikulum disusun oleh para
ahli pendidikan/ ahli kurikulum, ahli bidang ilmu, pendidik, pejabat
pendidikan, pengusaha serta unsur-unsur masyarakat lainnya. Rancangan ini disusun
dengan maksud memberi pedoman kepada para pelaksanan pendidikan, dalam proses
pembimbingan perkembangan siswa, mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh siswa
sendiri, keluarga, maupun masyarakat.
Kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji
kurikulum. Di sana semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan
kemampuan guru diuji dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk
kurikulum yang nyata dan hidup. Perwujudan konsep, prinsip, dan aspek-aspek
kurikulum tersebut seluruhnya terletak pada guru. Oleh karena itu, gurulah
pemegang kunci pelaksanaan dan keberhasilan kurikulum. Dialah sebenarnya
perencana, pelaksana, penilai, dan pengembang kurikulum sesungguhnya. Suatu
kurikulum diharapkan memberikan landasan, isi, dan menjadi pedoman bagi
pengembangan kemampuan siswa secara optimal sesuai dengan tuntutan dan
tantangan perkembangan masyarakat.
1. Prinsip-prinsip umum
Ada
beberapa prinsip umum dalam pengembangan kurikulum.
a. Relevansi
Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum, yaitu
relevansi ke luar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke
luar maksudnya tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum
hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Apa
yang tertuang dalam kurikulum hendaknya mempersiapkan siswa untuk tugas
tersebut. Kurikulum bukan hanya menyiapkan anak untuk kehidupannya sekarang
tetapi juga yang akan datang. Kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam
yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum, yaitu
antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. Relevansi internal ini
menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.
b. Fleksibilitas
Kurikulum hendaknya memilih sifat lentur dan fleksibel.
Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang, di
sini dan ditempat lain, bagi anak yang memiliki latar belakang dan kemampuan
yang berbeda. Suatu kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berisi hal – hal
yang solid, tetapi dalam pelaksanaanya memungkinkan terjadinya
penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu maupun kemampuan, dan
latar belakang anak.
c. Kontinuitas
Kontinuitas
yaitu kesinambungan. Perkembangan dan proses belajar anak berlangsung secara
berkesinambungan, tidak terputus-putus atau berhenti-henti. Oleh karena itu,
pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum juga hendaknya
berkesinambungan antara satu tingkat kelas, dengan kelas lainnya, antara satu
jenjang pendidikan dengan jenjang lainnya, juga antara jenjang pendidikan
dengan pekerjaan. Pengembangan kurikulum perlu dilakukan serempak bersama-sama,
perlu selalu ada komunikasi dan kerja sama antara para pengembang kurikulum
Sekolah Dasar dengan SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.
d.
Praktis
Prinsip ini mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat
sederhana dan biayanya juga murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efisiensi.
Betapapun bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian
dan peralatan yang sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum
tersebut tidak praktis dan sukar dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu
dilaksanakan dalam keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya,
alat, maupun personalia. Kurikulum bukan hanya harus ideal tetapi juga praktis.
e. Efektivitas
Walaupun kurikulum tersebut harus mudah, sederhana, dan
murah tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan. Keberhasilan pelaksanaan
kurikulum ini baik secara kuantitas maupun kualitas. Pengembangan suatu
kurikulum tidak dapat dilepaskan dan merupakan penjabaran dari perencanaan
pendidikan. Perencanaan di bidang pendidikan juga merupakan bagian yang
dijabarkan dari kebijaksanaan- kebijaksanaan pemerintah di bidang pendidikan.
Keberhasilan kurikulum akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan.
Kurikulum pada dasarnya berintikan empat aspek utama yaitu: tujuan-tujuan
pendidikan, isi pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian. Interelasi
antara keempat aspek tersebut serta antara aspek-aspek tersebut dengan
kebijaksanaan pendidikan perlu selalu mendapat perhatian dalam pengembangan
kurikulum.
2.
Prinsip-prinsip khusus
Ada
beberapa prinsip yang lebih khusus dalam pengembangan kurikulum.
Prinsip-prinsip ini berkenaan dengan penyusunan tujuan, isi, pengalaman
belajar, dan penilaian.
a.
Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan
Tujuan
menjadi pusat kegiatan dan arah semua kegiatan pendidikan. Perumusan
komponen-komponen kurikulum hendaknya mengacu pada tujuan pendidikan. Tujuan
pendidikan mencakup tujuan yang bersifat umum atau berjangka panjang, jangka
menengah, dan jangka pendek (tujuan khusus). Perumusan tujuan pendidikan
bersumber pada:
1) Ketentuan
dan kebijaksanaan pemerintah, yang dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen
lembaga negara mengenal tujuan, dan strategi pembangunan termasuk di dalamnya
pendidikan.
2) Survai
mengenai persepsi orang tua/masyarakat tentang kebutuhan mereka yang dikirimkan
melalui angket atau wawancara dengan mereka
3) Survai
tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu, dihimpun melalui
angket, wawancara, observasi, dan dari berbagai media massa
4) Survai
tentang manpower
5) Pengalaman
negara-negara lain dalam masalah yang sama
6) Penelitian
b. Prinsip
berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan
Memilih
isi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang telah ditentukan
para perencana kurikulum perlu mempertimbangkan beberapa hal.
1) Perlu
penjabaran tujuan pendidikan/pengajaran ke dalam bentuk perbuatan hasil belajar
yang khusus dan sederhana. Makin umum suatu perbuatan hasil belajar dirumuskan
semakin sulit menciptakan pengalaman belajar.
2) Isi
bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
3) Unit-unit
kurikulum harus disususn dalam urutan yang logis dan sistematis. Ketiga ranah
belajar, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan diberikan secara simultan
dalam urutan situasi belajar. Untuk hal tersebut diperlukan buku pedoman guru
yang memberikan penjelasan tentang organisasi bahan dan alat pengajaran secara
lebih mendetail.
c.
Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar
Pemilih
proses belajar mengajar yang digunakan hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1) Apakah
metode/teknik belajar-mengajar yang digunakan cocok untuk mengajarkan bahan
pelajaran?
2) Apakah
metode/teknik tersebut memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga dapat
melayani perbedaan individual siswa?
3) Apakah
metode/teknik tersebut memberikan urutan kegiatan yang bertingkat-tingkat?
4) Apakah
metode/teknik tersebut dapat menciptakan kegiatan untuk mencapai tujuan
kognitif, afektif dan psikomotor?
5) Apakah
metode/teknik tersebut lebih mengaktifkan siswa, atau mengaktifkan guru atau
kedua-duanya?
6) Apakah
metode/teknik tersebut mendorong berkembangnya kemampuan baru?
7) Apakah
metode/teknik tersebut menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah dan di
rumah, juga mendorong penggunaan sumber yang ada di rumah dan di masyarakat?
8) Untuk
belajar keterampilan sangat dibutuhkan kegiatan belajar yang menekankan
“learning by doing” di samping “learning by seeing and knowing”.
d. Prinsip
berkenaan dengan pemilihan media dan alat pengajaran
Proses
belajar-mengajar yang baik perlu didukung oleh penggunaan media dan alat-alat
bantu pengajaran yang tepat.
1) Alat
/media pengajaran apa yang diperlukan. Apakah semuanya sudah tersedia? Bila
alat tersebut tidak ada apa penggantinya?
2) Kalau
ada alat yang harus dibuat, hendaknya memperhatikan: bagaimana pembuatannya,
siapa yang membuat, pembiayaannya, waktu pembuatan?
3) Bagaimana
pengorganisasian alat dalam bahan pelajaran, apakah dalam bentuk modul, paket
belajar, dan lain-lain?
4) Bagaimana
pengintegrasiannya dalam keseluruhan kegiatan belajar?
5) Hasil
yang terbaik akan diperoleh dengan menggunakan multi media.
e.
Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian
Penilaian
merupakan bagian integral dari pengajaran:
1) Dalam
penyusunan alat penilaian (test) hendaknya diikuti langkah-langkah sebagai
berikut:
Rumusan
tujuan-tujuan pendidikan yang umum, dalam ranah-ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor. Uraikan ke dalam bentuk tingkah-tingkah laku murid yang dapat
diamati. Hubungkan dengan bahan pelajaran. Tuliskan butir-butir test.
2) Dalam
merencanakan suatu penilaian hendaknya diperhatikan beberapa hal:
Bagaimana
kelas, usia, dan tingkat kemampuan kelompok uang akan ditest?
Berapa
lama waktu dibutuhkan untuk pelaksanaan test?
Apakah
test tersebut berbentuk uraian atau objektif?
Berapa
banyak butir test perlu disusun?
Apakah
test tersebut diadministrasikan oleh guru atau oleh murid?
3) Dalam
pengolahan suatu hasil penilaian hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
Norma
apa yang digunakan di dalam pengolahan hasil test?
Apakah
digunakan formula quessing?
Bagaimana
pengubahan skor ke dalam skor masak?
Untuk
apakah hasil-hasil test digunakan?
B.
Pengembang Kurikulum
Dalam mengembangkan suatu kurikulum banyak pihak yang turut berpartisipasi, yaitu:
administrator pendidikan, ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli bidang ilmu
pengetahuan, guru-guru, dan orang tua murid serta tokoh-tokoh masyarakat. Dari
pihak-pihak tersebut yang secara terus-menerus turut terlibat dalam
pengembangan kurikulum adalah administrator, guru, dan orang tua.
1. Peranan
Para Administrator Pendidikan
Para
administrator pendidikan ini terdiri atas: direktur bidang pendidikan, pusat
pengembangan kurikulum, kepala kantor wilayah, kepala kantor kabupaten dan
kecamatan serta kepala sekolah. Peranan para administrator di tingkat pusat
(direktur dan kepala pusat) dalam pengembangan kurikulum adalah menyusun
dasar-dasar hukum, menyusun kerangka dasar serta program inti kurikulum.
Kerangka dasar dan program inti tersebut akan menentukan minimum course
yang dituntut.
Administrator tingkat pusat bekerja sama dengan para ahli pendidikan dan ahli
bidang studi di Perguruan Tinggi serta meminta persetujuannya terutama dalam
penyusunan kurikulum sekolah. Atas dasar kerangka dasar dan program inti
tersebut para administrator daerah (kepala kantor wilayah) dan administrator
lokal (kabupaten, kecamatan dan kepala sekolah) mengembangkan kurikulum
sekolah bagi daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Para kepala sekolah
mempunyai wewenang dalam membuat operasionalisasi sistem pendidikan pada
masing-masing sekolah. Para kepala sekolah ini sesungguhnya yang secara terus
menerus terlibat dalam pengembangan dan implementasi kurikulum, memberikan
dorongan dan bimbingan kepada gugu-guru.
2. Peranan
Para Ahli
Perkembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas perubahan
tuntutan kehidupan dalam masyarakat, tetapi juga perlu dilandasi oleh
perkembangan konsep-konsep dalam ilmu. Oleh karena itu, perkembangan kurikulum membutuhkan
bantuan pemikiran para ahli, baik ahli pendidikan, ahli kurikulum, maupun ahli
bidang studi/ disiplin ilmu.
Mengacu pada kebijaksaan-kebijaksanaan yang ditetapkan
pemerintah, baik kebijaksaan pembangunan secara umum maupun pembangunan
pendidikan, perkembangan tuntutan masyarakat, dan masukan-masukan dari
pelaksanaan pendidikan dan kurikulum yang sedang berjalan, para ahli pendidikan
dan kurikulum memberikan alternatif konsep pendidikan dan model kurikulum yang
dipandang paling sesuai dengan keadaan dan tuntutan di atas. Pengembangan
kurikulum bukan hanya sekedar memilih dan menyusun bahan pelajaran dan metode
mengajar, tetapi menyangkut penentuan arah dan orientasi pendidikan, pemilihan
sistem dan model kurikulum, baik model konsep, model desain, model
pembelajaran, model media, model pengelolaan, maupun model evaluasinya, serta
berbagai perangkat dan pedoman penjabaran serta pedoman implementasi dari
model-model tersebut.
Partisipasi para ahli pendidikan dan ahli kurikulum terutama
sangat dibutuhkan dalam pengembangan kurikulum pada tingkat pusat. Apabila
pengembangan kurikulum sudah banyak dilakukan pada tingkat daerah atau lokal,
maka partisipasi mereka pada tingkat daerah, lokal bahkan sekolah juga sangat
diperlukan, sebab apa yang telah digariskan pada tingkat pusat belum tentu
dapat dengan mudah dipahami oleh para pengembang dan pelaksana kurikulum di
daerah.
Pengembangan kurikulum juga membutuhkan partisipasi para
ahli bidang studi/bidang ilmu yang juga mempunyai wawasan tentang pendidikan serta
perkembangan tuntutan masyarakat. Sumbangan mereka dalam memilih materi bidang
ilmu, yang mutakhir dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat sangat
diperlukan. Mereka juga sangat diharapkan partisipasinya dalam menyusun materi
ajaran dalam sekues yang sesuai dengan struktur keilmuan tetapi sangat
memudahkan para siswa untuk mempelajarinya.
3. Peranan Guru
Guru memegang peranan
yang cukup penting baik di dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Dia
adalah perencana, pelaksana, dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Sekalipun
ia tidak mencetuskan sendiri konsep-konsep tentang kurikulum, guru merupakan
penerjemah kurikulum yang datang dari atas. Dialah yang mengolah, meramu
kembali kurikulum dari pusat untuk disajikan dikelasnya. Karena guru juga
merupakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan maka guru pulalah yang
selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum.
Peranan guru bukan
hanya menilai perilaku dan prestasi belajar murid-murid dalam kelas, tetapi
juga menilai implementasi kurikulum dalam lingkup yang lebih luas. Hasil-hasil
penilaian demikian akan sangat membantu pengembangan kurikulum, untuk memahami
hambatan-hambatan dalam implementasi kurikulum dan juga dapat membantu mencari
cara untuk mengoptimalkan kegiatan guru.
Guru juga bukan hanya berperan sebagai guru di dalam kelas,
ia juga seorang komunikator, pendorong kegiatan belajar, pengembang alat-alat
belajar, pencoba, penyusun organisasi, manajer sistem pengajaran, pembimbing
baik di sekolah maupun di masyarakat dalam hubungannya dengan pelaksanaan
pendidikan seumur hidup.
Guru juga berperan
sebagai pelajar dalam masyarakatnya, sebab ia harus selalu belajar struktur
sosial masyarakat, nilai-nilai utama masyarakat, pola-pola tingkah laku dalam
masyarakat. Hal-hal di atas diperlukan untuk mempersiapkan guru dalam berbagai
situasi dan kegiatan pendidikan.
Sebagai pelaksanaan
kurikulum maka guru pulalah yang menciptakan kegiatan belajar mengajar bagi
murid-muridnya. Berkat keahlian, keterampilan dan kemampuan seninya dalam
mengajar, guru mampu menciptakan situasi belajar yang aktif menggairahkan yang
penuh kesungguhan dan mampu mendorong kreativitas anak.
4. Peranan
Orang tua Murid
Orang tua juga mempunyai peranan dalam pengembangan kurikulum. Peranan mereka
dapat berkenan dengan dua hal :
- Dalam penyusunan kurikulum
Dalam
penyusunan kurikulum mungkin tidak semua orang tua dapat ikut serta, hanya
terbatas kepada beberapa orang saja yang cukup waktu dan mempunyai latar
belakang yang memadai. Peranan orang tua lebih besar dalam pelaksaaan
kurikulum.
- Dalam pelaksanaan kurikulum.
Dalam pelaksanaan kurikulum diperlukan kerja sama yang
sangat erat antara guru atau sekolah dengan para orang tua murid. Sebagian
kegiatan belajar yang dituntut kurikulum dilaksanakan di rumah, dan orang tua
sewajarnya mengikuti atau mengamati kegiatan belajar anaknya di rumah. Orang
tua juga secara berkala menerima laporan kemajuan anak-anaknya dari sekolah
berupa rapor dan sebagainya. Rapor juga merupakan suatu alat komunikasi tentang
program atau kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Orang tua juga
dapat turut berpartisipasi dalam kegiatan di sekolah melalui berbagai kegiatan
seperti diskusi, lokakarya, seminar, pertemuan orang tua-guru, pameran sekolah,
dan sebagainya.
Melalui pengamatan dalam kegiatan belajar di rumah, laporan
sekolah, partisipasi dalam kegiatan sekolah orang tua dapat turut serta dalam
pengembangan kurikulum terutama dalam bentuk pelaksanaan kegiatan belajar yang sewajarnya,
minat yang penuh, usaha yang sungguh-sungguh, penyelesaian tugas-tugas serta
partisipasi dalam setiap kegiatan di sekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut akan
memberikan umpan balik bagi penyempurnaan kurikulum.
C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum
1. Perguruan
Tinggi
Kurikulum
minimal mendapat dua pengaruh dari Perguruan Tinggi.
a.
Dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan
tinggi umum.
b. Dari
pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-guru di
Perguruan Tinggi Keguruan (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan).
Telah
diuraikan terdahulu bahwa pengetahuan dan teknologi banyak memberikan sumbangan
bagi isi kurikulum serta proses pembelajaran. Jenis pengetahuan yang
dikembangkan di Perguruan Tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan
dikembangkan dalam kurikulum. Perkembangan teknologi selain menjadi isi
kurikulum juga mendukung pengembangan alat bantu dan media pendidikan.
Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan juga mempengaruhi pengembangan
kurikulum, terutama melalui penguasaan ilmu dan kemampuan keguruan dari
guru-guru yang dihasilkannya. Penguasaaan ilmu, baik ilmu pendidikan maupun
bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru-guru akan sangat mempengaruhi
pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah. Guru-guru yang mengajar
pada berbagai jenjang dan jenis sekolah yang ada dewasa ini, umumnya disiapkan
oleh LPTK (IKIP, FKIP, STKIP) melalui berbagai program, yaitu program D2, D3
dan S1. Pada Sekolah Dasar masih banyak guru berlatar belakang pendidikan SPG
dan SGO, tetapi secara berangsur-angsur mereka akan mengikuti program
penyetaraan D2.
2. Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan
anak untuk kehidupan di masyarakat. Sebagai bagian dan agen dari masyarakat,
sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di mana sekolah tersebut
berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi
tuntutan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat yang ada di sekitar
sekolah mungkin merupakan masyarakat yang homogen atau heterogen, masyarakat
kota atau desa, petani, pedagang atau pengawai, dan sebagainya. Sekolah harus
melayani aspirasi-aspirasi yang ada di masyarakat. Salah satu kekuatan yang ada
dalam masyarakat adalah dunia usaha. Perkembangan dunia usaha yang ada di
masyarakat mampengaruhi pengembangan kurikulum sebab sekolah bukan hanya
mempersiapkan anak untuk hidup, tetapi juga untuk bekerja dan berusaha. Jenis pekerjaan
dan perusahaan yang ada di masyarakat menuntut persiapannya di sekolah.
3. Sistem
Nilai
Dalam
kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral, keagamaan,
sosial, budaya maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat juga
bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan penerusan nilai-nilai. Sistem nilai
yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasikan dalam
kurikulum. Masalah utama yang dihadapi para pengembang kurikulum menghadapi
nilai ini adalah bahwa dalam masyarakat nilai itu tidak hanya satu. Masyarakat
umumnya heterogen dan multifaset. Masyarakat memiliki kelompok-kelompok etnis,
kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, spiritual dan
sebagainya yang tiap kelompok sering memiliki nilai yang berbeda. Dalam
masyarakat juga terdapat aspek-aspek sosial, politik, fisik, estetika, etika,
religius, dan sebagainya. Aspek-aspek tersebut sering juga mengandung
nilai-nilai yang berbeda. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam
mengajarkan nilai:
a.
Guru hendaknya mengetahui dan memperhatikan semua nilai yang ada dalam
masyarakat,
b. Guru
hendaknya berpegang pada prinsip demokrasi, etis, dan moral,
c.
Guru berusaha menjadikan dirinya sebagai teladan yang patut ditiru,
d. Guru
menghargai nilai-nilai kelompok lain,
e.
Memahami dan menerima keragaman kebudayaan sendiri.
D. Artikulasi dan Hambatan Pengembangan Kurikulum
Artikulasi dalam pendidikan berarti “kesatupaduan dan koordinasi segala
pengalaman belajar”. Untuk merealisasikan artikulasi kurikulum, perlu meneliti
kurikulum secara menyeluruh, membuang hal-hal yang tidak diperlukan,
menghilangkan duplikasi, merevisi metode serta isi pengajaran, mengusahakan
perluasan dan kesinambungan kurikulum. Bila artikulasi dilaksanakan dengan baik
akan terwujud kesinambungan pengalaman belajar sejak TK sampai Perguruan
Tinggi, juga antara satu bidang studi dengan bidang studi lainnya secara
horizontal. Tanpa artikulasi akan terdapat keragaman baik dalam isi, metode
maupun perhatian terhadap perkembangan anak.
Untuk menyusun artikulasi kurikulum diperlukan kerja sama
dari berbagai pihak: para administrator, kepala sekolah, TK sampai rektor
universitas, guru-guru dari setiap jenjang pendidikan., orang tua murid dan
tokoh-tokoh masyarakat. Dalam mengusahakan artikulasi kurikulum tersebut murid
pun perlu dimintakan pendapatnya tentang hubungan pelajaran yang satu dengan
yang lainnya, hubungan antara satu tingkat dengan tingkat berikutnya. Salah
satu hal yang sering dipandang menghambat artikulasi adalah pembagian menurut
tingkat belajarnya. Hal itu menyebabkan tersusunnya organisasi belajar yang
kaku. Untuk menjamin kesinambungan pengalaman belajar beberapa sekolah menggunakan
sistem pendidikan tidak terbatas.
Hambatan-hambatan pengembangan kurikulum Dalam pengembangan
kurikulum terdapat beberapa hambatan.
- Hambatan pertama terletak pada guru. Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum. Hal itu disebabkan beberapa hal : pertama kurang waktu, kedua kekurang sesuaian pendapat, baik antara sesama guru maupun dengan kepala sekolah dan administrator, ketiga karena kemampuan dan pengetahuan guru sendiri.
- Hambatan dari masyarakat. Untuk pengembangan kurikulum dibutuhkan dukungan masyarakat baik dalam pembiayaan maupun dalam memberikan umpan balik terhadap sistem pendidikan atau kurikulum yang sedang berjalan. Masyarakat adalah sumber input dari sekolah. Keberhasilan pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan membutuhkan bantuan, serta input fakta dan pemikiran dari masyarakat.
- Hambatan masalah biaya. Untuk pengembangan kurikulum, apalagi yang berbentuk kegiatan eksperimen baik metode, isi atau sistem secara keseluruhan membutuhkan biaya yang sering tidak sedikit.
E. Model-Model Pengembangan Kurikulum
Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan
kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan
atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang
optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan hasil
pengelolaan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang
digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan
yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan yang desentralisasi. Model
pengembangan dalam kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan
kurikulum humanistik, teknologis dan rekonstruksi sosial. Sekurang-kurangnya
dikenal delapan model pengembangan kurilkulum, yaitu: the administrative
(line staff) model, the grass roots model, beauchamp’s system, the
demonstration model, Taba’s inverted model, Roger’s interpersonal relations
model, the systematic action research model dan emerging technical model.
1. The administrative model
Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama
dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administratif atau line staff
karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator
pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang
administrasinya, administrator pendidikan (apakah dirjen, direktur atau kepala
kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan) membentuk suatu komisi atau tim
pengarah pengembangan kurikulum. Anggota-anggota komisi atau tim ini terdiri
atas, pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin
ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim atau komisi ini
adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan, dan
strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Setelah hal-hal yang mendasar ini
terumuskan dan mendapatkan pengkajian yang saksama, administrator pendidikan
meyusun tim atau komisi kerja pengembangan kurikulum. Para anggota tim atau
komisi ini terdiri atas para ahli pendidikan/kurikulum, ahli disiplin ilmu dari
perguruan tinggi, guru-guru bidang studi yang senior. Tim kerja pengembangan
kurikulum bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional,
dijabarkan dari konsep-konsep dan kebijaksanaan dasar yang telah digariskan oleh
tim pengarah. Tugas tim kerja ini merumuskan tujuan-tujuan yang lebih
operasional dari tujuan-tujuan yang lebih umum, memilih dan menyusun sekuens
bahan pelajaran, memilih strategi pengajaran dan evaluasi, serta menyusun
pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum tersebut bagi guru-guru.
Setelah semua tugas dari tim kerja pengembangan kurikulum
tersebut selesai, hasilnya dikaji ulang oleh tim pengarah serta para ahli lain
yang berwenang atau yang kompeten. Setelah mendapat beberapa penyempurnaan, dan
dinilai cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum
tersebut serta memerintahkan sekolah-sekolah untuk melaksanakan kurikulum
tersebut. Karena sifatnya yang datang dari atas, model pengembangan kurikulum
demikian disebut juga model “top down” atau “line staff”.
Pengembangan kurikulum dari atas, tidak selalu segera berjalan, sebab menuntut
kesiapan dari pelaksanaannya, terutama guru-guru. Mereka perlu mendapatkan
petunjuk-petunjuk dan penjelasan atau mungkin juga peningkatan pengetahuan dan
keterampilan. Kebutuhan akan adanya penataran sering tidak dapat dihindarkan
Dalam pelaksanaan kurikulum tersebut, selama tahun-tahun
permulaan diperlukan pula adanya kegiatan monitoring, pengamatan dan pengawasan
serta bimbingan dalam pelaksanaannya. Setelah berjalan beberapa saat perlu juga
dilakukan suatu evaluasi, untuk menilai baik validitas komponen-komponennya,
prosedur pelaksanaan maupun keberhasilannya. Penilaian menyeluruh dapat
dilakukan oleh tim khusus dari tingkat pusat atau daerah, sedang penilaian
persekolah dapat dilakukan oleh tim khusus sekolah yang bersangkutan. Hasil
penilaian tersebut merupakan umpan balik, baik bagi instansi pendidikan di
tingkah pusat, daerah, maupun sekolah.
2. The grass roots model
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama.
Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari
bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama,
digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat
sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem
pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat
grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu
sekolah mengadakan uapaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau
penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau
beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen
kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan
guru-guru, fasilitas, biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan
kurikulum model grass roots, akan lebih baik. Hal itu didasarkan atas
pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari
pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena
itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya. Hal itu
sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dikemukakan oleh
Smith, Stanley dan Shores (1957: 429);
a. The curriculum will improve only as
the professional competence of teachers improves.
b. The compotence of
teachers will be improved only as the teachers become involved personally in
the problems of curriculum revision.
c. If teachers share in
shaping the goals to be attained, in selecting, defining, and solving the
problems to be encountered, and in judging and evaluating the rusults, their
involvement will be most nearly assured.
d. As people meet in
face-to face groups, they will be able to understand one another better and to
reach a consensus on basic principles, goals, and plans (Smith, Stanley and
Shores 1957: 429)
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya
berlaku untuk bidang tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat
digunakan untuk bidang studi sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang
studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat
desentralisasi dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetensi
di dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan
melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
3. Beauchamp’s system
Model pengembangan kurikulum ini, dikembangkan oleh Beauchamp seorang ahli
kurikulum. Beauchamp mengemukakan lima hal di dalam pengembangan suatu
kurikulum.
1.
Pertama, menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup
oleh kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi
ataupun seluruh negara. Penetapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang
dimiliki oleh pengambilan kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum, serta
oleh tujuan pengembangan kurikulum. Walaupun daerah yang menjadi wewenang
kepala kanwil pendidikan dan kebudayaan mencakup suatu wilayah propinsi, tetapi
arena pengembangan kurikulum hanya mencakup satu daerah kabupaten saja sebagai
pilot proyek.
2.
Kedua, menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa yang turut serta
terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut
berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
a.
para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan
para ahli bidang ilmu dari luar,
b. para
ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih,
c.
para profesional dalam sistem pendidikan,
d. profesional
lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
Beauchamp mencoba melibatkan para ahli dan tokoh-tokoh
pendidikan seluas mungkin, yang biasanya pengaruh mereka kurang langsung terhadap
pengembangan kurikulum, dibanding dengan tokoh-tokoh lain seperti, para penulis
dan penerbit buku, para pejabat pemerintah, politikus, dan pengusaha serta
industriawan. Penetapan personalia ini sudah tentu disesuaikan dengan tingkat
dan luas wilayah arena. Untuk tingkat propinsi atau nasional tidak terlalu
banyak melibatkan guru. Sebaliknya untuk tingkat kabupaten, kecamatan atau
sekolah terlibatan guru-guru semakin besar. Mengenai keterlibatan
kelompok-kelompok personalia ini, Beauchamp mengemukakan tiga pertanyaan:
a.
Haruskah kelompok ahli/pejabat/profesi tersebut dilibatkan dalam pengembangan
kurikulum?
b. Bila
ya, apakah peranan mereka?
c.
Apakah mungkin ditemukan alat dan cara yang paling efektif untuk melaksanakan
peran tersebut?
3. Ketiga, organisasi
dan prosedur pengembangan kurikulum. Langkah ini berkenaan dengan prosedur
yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan yang lebih khusus,
memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, dan dalam
menentukan keseluruh desain kurikulum. Beauchamp membagi seluruh kegiatan
ini dalam lima langkah, yaitu:
a.
Membentuk tim pengembang kurikulum,
b. Mengadakan
penilaian atau penelitian terhadap kurikulum yang ada yng sedang digunakan,
c.
Studi pengajaran tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru,
d. Merumuskan
kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru,
e.
Penyusunan dan penulisan kurikulum baru.
4. Keempat, implementasi
kurikulum. Langkah ini merupakn langkah mengimplementasikan atau
melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang sederhana, sebab membutuhkan
kesiapan yang menyeluruh, baik kesiapan guru-guru, siswa, fasilitas, bahan
maupun biaya, di samping kesiapan managerial dari pimpinan sekolah atau
administrator setempat.
5. Kelima, evaluasikurikulum.
Langkah ini minimal mancakup empat hal:
a.
Evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru,
b. Evaluasi
desain kurikulum,
c.
Evaluasi hasil belajar siswa,
d. Evaluasi
dari keseluruhan system kurikulum.
Data yang diperoleh dari hasil
kegiatan evaluasi ini digunakan bagi penyempurnaan sistem dan desain kurikulum,
serta prinsip-prinsip melaksanakannya.
4. The demonstration model
Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass roots, datang dari bawah.
Model ini diprakarsai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama
dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini umumnya
berskala kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu komponen
kurikulum atau mencakup keseluruhan komponen kurikulum. Karena sifatnya ingin
mengubah atau mengganti kurikulum yang ada, pengembangan kurikulum sering
mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu.
Menurut Smith, Stanley, dan Shores ada dua variasi model demonstrasi ini.
Pertama, sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk
melaksanakan suatu percobaan tentang pengembangan kurikulum. Proyek ini
bertujuan mengadakan penelitian dan pengembangan tentang salah satu atau
beberapa segi/komponen kurikulum. Hasil penelitian dan pengembangan ini
diharapkan dapat digunakan bagi lingkungan yang lebih luas. Kegiatan penelitian
dan pengembangan ini biasanya diprakarsai dan diorganisasi oleh instansi
pendidikan yang berwenang seperti, direktorat pendidikan, pusat pengembangan
kurikulum, kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan, dan sebagainya.
Bentuk yang kedua, kurang bersifat formal. Beberapa orang guru yang merasa
kurang puas dengan kurikulum yang ada, mencoba mengadakan penelitian dan
pengembangan sendiri. Mereka mencoba menggunakan hal-hal lain yang berbeda
dengan yang berlaku. Dengan kegiatan ini mereka mengharapkan ditemukan
kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih baik, untuk kemudian
digunakan di daerah yang lebih luas.
Ada beberapa kebaikan dari pengembangan kurikulum dengan model demostrasi ini.
Pertama, karena kurikulum disusun dan dilaksanakan dalam situasi tertentu yang
nyata, maka akan dihasilkan suatu kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum
yang lebih praktis. Kedua, perubahan atau penyempurnaan kurikulum dalam skala
kecil atau aspek tertentu yang khusus, sedikit sekali untuk ditolak oleh
administrator, dibandingkan dengan perubahan dan penyempurnaan yang menyeluruh.
Ketiga, pengembangan kurikulum dalam skala kecil dengan model demonstrasi dapat
menembus hambatan yang sering dialami yaitu dokumentasinya bagus tetapi
pelaksanaannya tidak ada. Keempat, model ini sifatnya yang grass roots
menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan nara sumber yang dapat menjadi
pendorong bagi para administrator untuk mengembangkan program baru. Kelemahan
model ini, adalah bagi guru-guru yang tidak turut berpartisipasi mereka akan
menerimanya dengan enggan-enggan, dalam keadaan terburuk mungkin akan terjadi
apatisme.
5. Taba’s inverted model
Menurut cara yang bersifat tradisional pengembangan kurikulum dilakukan secara
deduktif, dengan urutan:
a.
Penentuan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan dasar,
b.
Merumuskan desain kurikulum yang bersifat menyeluruh didasarkan atas
komitmen-komitmen tertentu,
c.
Menyusun unit-unit kurikulum sejalan dengan desain yang menyeluruh,
d.
Melaksanakan kurikulum di dalam kelas.
Taba berpendapat model deduktif ini kurang cocok, sebab tidak merangsang
timbulnya inovasi-inovasi. Menurutnya pengembangan kurikulum yang lebih
mendorong inovasi dan kreativitas guru-guru adalah yang bersifat induktif, yang
merupakan inversi atau arah terbalik dari model tradisional.
Ada lima langkah pengembangan
kurikulum model Taba ini.
1. Pertama,
mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Di dalam unit
eksperimen ini diadakan studi yang saksama tentang hubungan antara teori dengan
praktik. Perencanaan didasarkan atas teori yang kuat, dan pelaksanaan
eksperimen di dalam kelas menghasilkan data-data yang untuk menguji landasan
teori yang digunakan. Ada delapan langkah dalam kegiatan unit eksperimen ini:
a.
Mendiagnosis kebutuhan,
b.
Merumuskan tujuan-tujuan khusus,
c.
Mamilih isi,
d.
Mengorganisasi isi,
e.
Memilih pengalaman belajar,
f.
Mengorganisasi pengalaman belajar,
g.
Mengevaluasi,
h.
Melihat sekuens dan keseimbangan (Taba, 1962: 347-379).
2. Kedua,
menguji unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen ini telah diuji dalam
pelaksanaan di kelas eksperimen, tetapi masih harus diuji di kelas-kelas atau
tempat lain untuk mengetahui validitas dan kepraktisannya, serta menghimpun
data bagi penyempurnaan.
3. Ketiga, mengadakan revisi dan
konsolidasi. Dari langkah pengujian diperoleh beberapa data, data tersebut
digunakan untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan. Selain perbaikan dan
penyempurnaan diadakan juga kegiatan konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan
tentang hal-hal yang lebih bersifat umum yang berlaku dalam lingkungan yang
lebih luas. Hal itu dilakukan, sebab meskipun suatu unit eksperimen telah cukup
valid dan praktis pada suatu sekolah belum tentu demikian juga pada daerah yang
lebih luas. Perlu adanya kegiatan konsolidasi.
4. Keempat,
pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum. Apabila dalam kegiatan
penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang lebih menyeluruh
atau berlaku lebih luas, hal itu masih harus dikaji oleh para ahli kurikulum
dan para professional kurikulum lainnya. Kegiatan itu dilakukan untuk
mengetahui apakah konsep-konsep dasar atau landasan-landasan teori yang dipakai
sudah masuk dan sesuai.
5. Kelima,
implementasi dan diseminasi, yaitu menerapkan kurikulum baru pada daerah
atau sekolah-sekolah yang lebih luas. Di dalam langkah ini masalah dan
kesulitan-kesulitan pelaksanaan tetapi dihadapi, baik berkenaan dengan kesiapan
guru-guru, fasilitas, alat dan bahan juga biaya.
6. Roger’s interpersonal relations
model
Meskipun Rogers bukan seorang ahli pendidikan (ia ahli psikologi atau
psikoterapi) tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana
membimbing individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan
pengembangan kurikulum. Memang ia banyak mengemukakan konsepnya tentang
perkembangan dan perubahan individu. Menurut When Crosby (1970: 388) perubahan
kurikulum adalah perubahan individu.
Menurut Rogers manusia berada dalam proses perubahan (becoming, developing,
changing), sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang
sendiri, tetapi karena ada hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan orang lain
untuk membantu mempelancar atau mempercepat perubahan tersebut. Pendidikan juga
tidak lain merupakan upaya untuk membantu memperlancar dan mempercepat
perubahan tersebut. Guru serta pendidik lainnya bukan pemberi informasi apalagi
penentu perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong dan pemelancar
perkembangan anak.
Ada empat langkah pengembangan
kurikulum model Rogers.
a. Pertama, pemilihan
target dari sistem pendidikan.
Di dalam penentuan target ini
satu-satunya kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari
pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok yang intensif.
Selama satu minggu para pejabat pendidikan/ administrator melakukan kegiatan
kelompok dalam suasana yang relaks, tidak formal. Melalui kegiatan kelompok ini
mereka akan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut.
1. He
is less protective of his own beliefs and can listen more accurately
2. He
finds it easier and less threatening to accept innovative ideas
3. He
has less need to protect bureaucratic rules
4. He
communicates more clearly and realistically to superiors, peers, and
sub-ordinates because he is more open and less self-protective
5. He
is more person oriented and democratic
6. He
openly confronts personal emotional frictions between him self and colleagues
7. He
is more able to accept both positive and negative feeback and use it
constructively (Roger, 1967:722).
b. Kedua, partisipasi
guru dalam pengalaman kelompok yang intensif.
Sama seperti yang dilakukan para
pejabat pendidikan, guru juga turut serta dalam kegiatan kelompok.
Keikutsertaan guru dalam kelompok tersebut sebaiknya bersifat suka rela, lama
kegiatan kalau bisa satu minggu lebih baik, tetapi dapat juga kurang dari satu
minggu. Efek yang akan diterima guru-guru sejalan dengan para administrator,
dengan beberapa tambahan.
1. He
is more able to listen to students,
2. He
accepts innovative, troublesome ideas from students, rather than insisting on
conformity,
3. He
pays as much attention to his relationship with student as he does to course
content,
4. He
works out problems with students rather than responding in a disciplinary and
punitive manner,
5. He
develops an equalitarian and democratic classroom climate (Rogers, 1967:724).
c. Ketiga, pengembangan
pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit pelajaran.
Selama lima hari penuh siswa ikut
serta dalam kegiatan kelompok, dengan fasilitator para guru atau administrator
atau fasilitator dari luar. Dari kegiatan ini para siswa akan mendapatkan:
1. He
feels free to express both positive and negative feelings in class
2. He
works through these feelings toward a realistic solutin
3. He
has more energy for learning because he has less fear of constant evaluation
and punishment
4. He
discovers that he is responsible for his own learning
5. He
awe and fear of authority diminish as he finds teachers and administrator to be
fallible human beings.
6. He
finds that the learning process enables him to deal with his life (Roger,
1967:725).
d. Keempat, partisipasi
orang tua dalam kegiatan kelompok.
Kegiatan ini dapat di koordinasi
oleh BP3 masing-masing sekolah. Lama kegiatan kelompok dapat tiga jam tiap sore
hari selama seminggu atau 24 jam secara terus menerus. Kegiatan ini bertujuan
memperkaya orang-orang dalam hubungannya dengan sesama orang tua, dengan anak,
dan dengan guru. Rogers juga menyarankan, kalau mungkin ada pengalaman kegiatan
kelompok yang bersifat campuran. Kegiatan merupakan kulminasi dari semua kegiatan
kelompok di atas.
Model pengembangan kurikulum dari
Rogers ini berbeda dengan model-model lainnya. Sepertinya tidak ada suatu
perencanaan kurikulum tertulis, yang ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok.
Itulah ciri khas Carl Rogers sebagai seorang Eksistensialis Humanis, ia tidak
mementingkan formalitas, rancangan tertulis, data, dan sebagainya. Bagi Rogers
yang penting adalah aktivitas dan interaksi. Berkat berbagai bentuk aktivitas
dalam interaksi ini individu akan berubah. Metode pendidikan yang diutamakan
Rogers adalah sensitivity traning, encounted group dan training Group (T
Group).
7. The systematic action-research model
Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum
merupakan perubahan sosial. Hal itu mencakup suatu proses yang melibatkan
kepribadian orang tua, siswa, guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan
pribadi dan kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut
model ini menekankan pada tiga hal itu: hubungan insani, sekolah dan organisasi
masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan professional.
Kurikulum dikembangkan dalam konteks harapan warga masyarakat, para orang tua,
tokoh masyarakat, pengusaha, siswa, guru, dan lain-lain, mempunyai pandangan
tentang bagaimana pendidikan, bagaiman anak belajar, dan bagaimana peranan
kurikulum dalam pendidikan dan pengajaran. Penyusunan kurikulum harus
memasukkan pandangan dan harapan-harapan masyarakat, dan salah satu cara untuk
mencapai hal itu adalah dengan prosedur action research.
Langkah
pertama, mengadakan kajian secara saksama tentang masalah-masalah kurikulum,
berupa pengumpulan data yang bersifat menyeluruh, dan mengindentifikasi
faktor-faktor, kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi masalah tersebut. Dari
hasil kajian tersebut dapat disusun rencana yang menyeluruh tentang cara-cara
mengatasi masalah tersebut, serta tindakan pertama yang harus diambil.
Kedua,
implementasi dari keputusan yang diambil dalam tindakan pertama. Tindakan ini
segera diikuti oleh kegiatan pengumpulan data dan fakta-fakta. Kegiatan
pengumpulan data ini mempunyai beberapa fungsi:
1) Menyiapkan
data bagi evaluasi tindakan,
2) Sebagai
bahan pemahaman tentang masalah yang dihadapi,
3) Sebagai
bahan untuk menilai kembali dan mengadakan modifikasi,
4) Sebagai
bahan untuk menentukan tindakan lebih lanjut.
8.
Emerging technical models
Perkembangan
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efisiensi efektivitas
dalam bisnis, juga mempengaruhi perkembangan model-model kurikulum. Tumbuh
kecenderungan-kecenderungan baru yang didasarkan atas hal itu, di antaranya:
a. The
Behavioral Analysis Model, menekankan penguasaan perilaku atau kemampuan.
Suatu perilaku/kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi perilaku-perilaku yang
sederhana yang tersusun secara hierarkis. Siswa mempelajari perilaku-perilaku
tersebut secara berangsur-angsur mulai dari yang sederhana menuju yang lebih
kompleks.
b. The
System Analysis Model berasal dari gerakan efisiensi bisnis. Langkah
pertama dari model ini adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar
yang harus dikuasai siswa. Langkah kedua adalah menyusun instrumen untuk
menilai ketercapaian hasil serta perkiraan biaya yang diperlukan. Langkah
keempat, membandingkan biaya dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.
c. The
Computer-Based Model, suatu model pengembangan kurikulum dengan
memanfaatkan komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi seluruh
unit-unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki rumusan tentang
hasil-hasil yang diharapkan. Kepada para siswa dan guru-guru diminta untuk
melengkapi pertanyaan tentang unit-unit kurikulum tersebut. Setelah diadakan
pengolahan disesuaikan dengan kemampuan dan hasil-hasil belajar yang dicapai
siswa disimpan dalam komputer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar